Tuesday, May 18, 2010

Anak Autis

Melihat Fadhil bercanda dengan air dalam kolam renang hingga mampu berenang di kedalaman lebih dari satu meter, siapapun tak akan menyangka jika bocah berusia tujuh tahun tersebut menderita autis. Rizki Fadhila, demikian nama lengkap putra dari Lolyta ini, sebetulnya sudah disadari kondisinya yang berbeda dengan anak seusianya oleh sang ibu sejak berusia satu tahun.

“Pertama-tama lihat perkembangannya, waktu saya lihat cara dia kontak mata dan bersosialisasi, saya merasa ia mengalami autis. Itu saya rasakan waktu ia berusia satu tahun,” ujar Lolyta.

Ketika diperiksakan ke dokter, dua dokter menyatakan bahwasanya Fadhil mengalami hiperaktif sedangkan seorang dokter menyatakan bahwa putranya mengidap autis. Penasaran, Lolyta pun membawa putranya ke Jakarta untuk diperiksa lebih insentif.

Hasilnya, Fadhil yang saat itu sudah berusia 2,5 tahun memang dinyatakan mengalami autis. Lolyta pun kemudian membawa Fadhil pulang sembari membawa home program.

“Saya start mengadakan terapi di rumah untuk Fadhil saat ia sudah berusia tiga tahun. Untuk urusan bersosialisasi Fadhil, saya dulu juga sempat menyekolahkannya selama tiga tahun di playgroup,” terang wanita yang akhirnya memilih menghentikan karirnya untuk lebih fokus merawat Fadhil.

Menurut Lolyta, Fadhil hingga kini memang terlihat lebih cepat belajar di bidang fisik dan emosi. Misalnya saja untuk berenang, Fadhil membutuhkan waktu tiga bulan untuk bisa belajar berenang. Beberapa patah kata sudah bisa diucapkannya. Tingkahnya pun tidak begitu atraktif.

Peran Lolyta emang tidak setengah-setengah. Fadhil selalu berada dalam pendampingan serta pengawasannya baik dalam tingkah laku hingga pola makan. “Setiap anak autis memang punya pantangan makanan yang berbeda-beda. Kalau dilanggar, biasanya tingkahnya jadi lebih atraktif saja,” imbuh Lolyta.

Selain home program di rumah, Fadhil juga diikutkan terapi di Rafelita dengan jenis terapi okupasi, sensori integritas, dan wicara. Rencananya ke depan, Fadhil akan diikutsertakan terapi musik juga di Merrys College.

Sedangkan untuk sosialiasi Fadhil di lingkungan masyarakat, Lolyta rutin mengajak Fadhil untuk berjalan-jalan ke tempat ramai. “Dia juga main sepeda, skuter, dan berenang,” ujar Lolyta. (ika)

Ajarkan Anak Bertepuk Tangan

Sudah sejak lama orang mengenal musik. Tidak hanya sekedar hiburan, musik pun mampu menjadi sarana penyembuhan bagi mereka yang menderita sakit atau ingin memperoleh peningkatan kualitas dan kemampuan diri.

Di Merrys College sendiri, musik dihadirkan tidak hanya sebagai peningkatan kemampuan anak dalam hal bermain musik. Selain itu, musik pun digunakan sebagai sarana terapi bagi anak yang mengalami gangguan.

“Terapi musik ini dapat digunakan oleh anak-anak yang mengalami gangguan seperti gangguan motorik, konsentrasi, atau bahasa. Prosesnya ada pada fungsi yang dinamakan FMRI atau Functional Magnetic Resonance Imaging dan terdapat di sel otak,” ujar Agung B Siregar, pengajar yang ada di Merry College.

Aktivitas sel otak ini dapat terdeteksi melalui adanya perubahan tekanan dalam darah atau emotion really. Caranya, anak yang mengalami gangguan diberikan rangsangan berupa satu bunyi tak beraturan, dua suara, dan nada harmonis.

Sementara itu dalam sistem kecerdasan otak, bagian belahan otak kiri adalah bagian yang mengatur beberapa bidang seperti kreatifitas dan abstraksi musik. Dengan adanya terapi musik ini akan mampu mengembangkan otak kiri hingga otak bagian kanan yang terdapat hipotalamus yaitu sebagai pusat respon emosi.

“Perubahan seorang anak sebagai respon dari terapi musik ini bisa diketahui dari perubahan detak irama jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh,” imbuh Agung.

Dalam terapi musik itu sendiri, anak-anak dikenalkan dengan Snow Silence Methode yang terdiri dari kegiatan mendengar, mengikuti tempo atau beat musik yang disesuaikan dengan gerak irama tubuh, analog detak jantung yang kegiatannya berupa tepuk tangan, gerak kepala, dan anggota badan bagian atas.

Lantas sejak kapan anak yang mengalami gangguan tersebut dikenalkan dengan terapi musik, “Kalau bisa sedini mungkin,” sahut Agung. Yaitu, saat anak terdeteksi mengalami gangguan, mulai kenalkan ia dengan terapi musik tersebut.

Sumber :www.ikapunyaberita.wordpress.com

No comments:

Post a Comment